Suara biola yang sangat indah
dimainkan itu, terasa menyejukan hati ini yang pilu karena kemiskinan.
Mencari-carinya untuk lebih jelas didengarnya. Ternyata berasal dari rumah
mewah diseberang jalan ini. Wawan yang seorang penjual koran hanya lulusan smp tak
bisa melanjutkan sekolahnya 2 tahun lalu. Karena uang dan uang yang
menghambatnya dan keluarganya. Dia merasa iri dengan teman-temannya yang begitu
menikmati pendidikan.
Matanya
menatap diatas jendela rumah mewah itu, yang kebetulan terbuka. Ada sosok
perempuan dengan sebuah kursi rodanya diam terpaku dengan biolanya. Mata hati
wawan sangat miris melihatnya, dalam batinnya dia merasa “oh tuhan, apa yang
terjadi dengannya???? Dia sangat kaya, jauh beda dengan saya.”
Saat ia melangkah mendekat,
mendekati pintu gerbangnya sangat jelas perempuan itu. Perempuan itu merasa
seseorang melihatnya dan mendengarkannya. Perempuan itu keluar mencoba
mendekatinya, dia keluar dari pintu dengan kursi rodanya. “siapa kamu?” Tanya
perempuan itu sambil mendorong kursi rodanya.
“aku wawan penjual Koran, maaf jika aku menggangu bermain biola kamu
dengan indahnya.”
Pintu
gerbang itu membatasi berbincangnya.
“owh… tidak, aku hanya senang dengan bermain biola ini. Perkenalkan aku
kinan, salam kenal wawan.” Senyum manisnya
“aku sangat senang jika kamu mau menjadi temanku.” Ajaknya
“ya… tapi aku hanya penjual Koran miskin yang tak pantas berteman dengan
kamu, apa kata teman-temanmu??
“apakah seorang teman harus memandang status???”
Tuhan
begitu baiknya perempuan kaya ini, walau fisiknya cacat tapi hatinya baik,
gumannya dalam hati.
“itu menurutku… tapi kau belum kenal aku?”
“kau bukan orang jahat, aku bisa melihat itu dari matamu”
“kinan, aku harus pulang keluargaku menungguku dirumah.” Pintanya
“ya… sering-seringlah kamu main sini.”
***
Sepanjang pikirannya, hanya
terfikir sosok kinan dan kinan. Hari itu cuaca sangat panas dan Koran yang
dijual wawan hanya laku 3 biji. Dia kesana-sini tuk dapatkan uang guna membantu
ibunya. Pernah benaknya ingin menjadi orang kaya membahagiakan ibu dan adik
perempuannya atik namanya.
Disisi lain kinan juga merasa
sangat kesiapan, walau kaya tapi tak ada sekecil pun yang peduli akannya dan
memperhatikannya. Hanya pembantu yang menjadi teman mainnya. Mata batin kinan
merasa sedih bila mengingat peristiwa 1 tahun lalu yang membuat kinan mengalami
cacat dikakinya. Waktu itu tepat saat ulang tahun mamanya, mamanya mengajak
kinan jalan-jalan kebetulan papanya diluar negeri singapura bisnis. Saat sedang
mengendarai sambil berbincang-bincang mamanya tak sadar didepan ada truk
berhenti didekatnya, rem pun tak terkendali dan mamanya seketika mati ditempat
dan syukur kinan selamat. “aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, mama kinan
rindu” desak tangisnya
Kinan merasa tak punya
siapa-siapa untuk jadi teman curhatnya dan yang menemani jalan-jalan, hanya
sosok mamalah. Kinan diam terpaku dengan kursi rodanya sambil memandangi foto
alm mamanya dengan berlinan air mata. “mah, andai mama disini kinan ingin
sekali bertemu mama. Kinan tahu mama ada alam surga, kinan kesepian ma. Papa
tak pernah mengunjungiku hanya lewat telefon! Mama….” Desaknya
Sore itu wawan pulang dari
menjual Koran, ia ingin melihat kinan sudah 2hari ini wawan tak mengunjunginya.
Dari balik taman depan rumah mewah itu sedang duduk dalam kursi rodanya, siapa
lagi kalu bukan kinan. Wawan mendekat dan memberanikan diri tuk memanggilnya.
“kinan….”
Sebuah
suara yang lembut ia dengar dan menyebut namanya, ia mencari asal suara itu.
“apakah wawan?” batinnya
Lalu
kinan menolehnya kebelakang dengan memutarkan kursi rodanya. Dengan senang
hatinya yang dilihat adalah wawan.
“wawan… aku menunggumu tapi kau tak pernah datang mengunjungiku. Buka
saja pintu gerbang itu.”
Wawan
membuka pintu gerbang dan menghampirinya.
“ah… anu nan, akhir-akhir ini aku sibuk mengurusi Koran dan membantu
ibuku. Bagaimana kabarmu?”
“owh… begitu, ya nggak apa. Kabarku baik wan, kamu haus biar aku panggilkan
mb nuni?”
“ah… tak usah ngeropotin.”
“tak apa, kita teman kan? Mb nuni… amblikan minum buat teman kinan”
“ya… terimakasih, oh ea nan mana orang tuamu? Hebat ya kamu punya rumah
besar, taman yang indah. Jauh beda dengan rumahku, yang gubuk kayu. Tapi aku
bersyukur bisa punya tempat tinggal.
“sama-sama. papaku ada diluar
negri, mama sudah meninggal. Ini punya orang tuaku, aku hanya menempati saja.
Ya harus bersyukur, boleh aku main ketempat kamu?”
“oh… maaf kinan aku tak tahu kalau mama kamu sudah nggak ada. Pasti enak
diluar negri, rame sakali diperbincangkan Koran ini mengenai luar ngeri. Hehe…
ah bercanda kamu, rumahku jelak apa coba kata tetanggamu. Sudah cantik, baik
lagi.”
“ya wan, aku ngerti. Ya asyik tapi bosen setiap liburan sekolah keluar
negri terus. Nggak wan, serius santai saja. Boleh ya…”
“wah… setiap liburan kesana… cup cup, hebat kamu. Pernah kepatung kayak
singa keluar airnya dari mulutnya.”
“hah… lucu kamu, owh singapura ya. Aku pernah kesana tempat kerja papa
disana.”
“kinan, aku sering-sering diceritain tentang sana. Sudah sore aku belum
mandi, bau kayak gini.” Dengan logat jawanya
“iya… ya, pantas saja bau ikan asin…” kinan tertawa kecil
“wah ikan asin, ini itu bau comberang… hehe. Da kinan sampai ketemu
lagi”
“wawan… wawan. Hati-hati” dengan senyum manisnya.
***
“wawan anaknya baik,
mudah-mudahan ini berguna untuknya?” batinnya dengan raut muka senang.
Siang
itu kinan ingin memberikan buku panduan wisata. Dan ia ingin merasakan
ketenangan dikeluarga wawan. Yang hampir 1 tahun lebih tak dirasakannya. Kinan
menyuruh pak abon supirnya, tuk menghantarkan ke pusat kota tempat jualannya
wawan.
Dari balik kaca jendela mobil
kinan melihat wawan dan memperhatikan cara berjualannya. Kinan merasa iba
padanya, “didunia masih ada orang yang pekerja keras seperti wawan, aku merasa
iri padanya. Aku cacat seperti ini tak bisa apa-apa??”
Wawan merasa capek dan ia
berteduh dipinggir sambil duduk ditrotoar, dahaganya terasa kering ingin
sesegera mungkin minum. Kinan yang memperhatikannya, segera turun dari mobilnya
yang dibantu pak abon. Dibawa sebotol air mineral untuknya. Wawan yang tak
sadar dan kaget itu tak menyangka kinan menghampirinya
sambil menyodorkan air mineral. Lalu bercandalah mereka.
“wan, ini untukmu.”
“kinan (dengan tak sadar dan kagetnya)… sedang apa kamu disini?”
“aku dari tadi memperhatikan mu, cara jualan kamu. Tak boleh?”
“owh… bukan gitu maksudku… terimakasih ya, kamu tak malu berteman
denganku dan terimaksih juga airnya.”
“ya sama-sama. Oh ya wan, aku punya sesuatu. Ini buku panduan wisata
tentang Singapura.”
“wah indah sekali Negara sana, makmur pula dari pada Indonesia.”keluhnya
“ya indah, tapi kita harus bangga dengan Indonesia Negara yang kaya akan
sumber dayanya.”
“tapi… tak semakmur sana. Buktinya aku dan yang lain masih miskin?”
“itu karena pejabatnya korupsi! Makan uang rakyat.”
“politikus kau.” Canda wawan
“hum… “tawa kecil kinan
Dengan
asyiknya mereka ngobrol dan tertawa kecil. Tiba-tiba wawan ingin pulang.
Seketika itu kinan ingin ikut, ingin merasakan suasana keluarga kecil mereka. Kinan
yang naik kursi roda dan didorong wawan, sebelumnya kinan minta izin sama pak
abon supirnya tuk bermain dengan wawan.
Sebelumnya wawan ditawari naik
mobil kinan, karna jalan menuju rumahnya sempit jadinya jalan kaki. Sepanjang
jalan kinan memperhatikan suasana kampung wawan. Terlihat ramai didaerahnya
banyak anak-anak bermain riang gembira. Kinan jadi teringat dulu.
Sampailah didepan rumah yang
hanya terbuat dari bambu dan suasana disana sejuk penuh dengan pohon. Terlihat
disana seorang ibu yang sedang menjahit baju. Ternyata ibu wawan, beliau
terlihat ramah dengan kinan dan mempersilahkan masuk. Kinan disajikan pisang
rebus dan segelas teh angat, nikmat rasanya karna dibuat dengan rasa sayang.
Perasaan kinan sangat senang bisa merasakan kasih sayang ibu yang dicurahkan ke
wawan terasa lengkap sudah.
**********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar