Minggu, 18 November 2012
Gaya Hidup Remaja dan Media
Semua jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun majalah, berpengaruh besar terhadap gaya hidup kita masa kini. Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak heran jika kita digiring menjadi sangat konsumtif.
Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai mencari gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai mencari seorang idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak sih kalau saat ini banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life style baru? Para bintang muda yang digandrungi ternyata mampu mengubah style remaja.
Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh akan mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di sinilah media
Namun, apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memilah-milah atau selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada suatu sisi media memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita, penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hadirnya media berpengaruh positif dan juga negatif.
Keberadaan media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau kita tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban media. tidak salah memang ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan informasi dari media. Namun, yang perlu diingat, seberapa perlu produk yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita memang membutuhkan produk itu ataukah karena kita terpengaruh oleh iming-iming yang disampaikan oleh media.
Remaja : Jangan memaksakan diri
tidak ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di media, dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu mewujudkan impian itu. Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita ingat, jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya kita sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh kita. Pokoknya yang penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima apa adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain.
Nah, jelaskan? Media memang punya dampak positif dan negatif. Kita harus arif menyikapinya. Cara gampang adalah mengenali diri kita sendiri dan mengenali apa yang menurut kita sangat penting. Mengenali apa yang kita sukai, apa yang bisa kita toleransi dari orang lain dan hal-hal yang membuat kita merasa mantap. Kalau setelah kita renungkan semua berbeda dari apa yang benar versi media, itu artinya kita harus segera ambil strategi. So, jangan menelan secara mentah-mentah apa yang diinformasikan media sehingga tidak begitu saja menjadi korban media.
Kolaborasi Gaya Hidup Remaja, Sastra, Media dan Internet
Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari
generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja
perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun
jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius.
Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam
medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan
saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah
sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi
versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah
sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada
kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di
dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya
apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat
jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.
Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.
Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.
Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.
Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.
Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.
Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.
Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.
Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.
Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.
Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.
Senin, 12 November 2012
Pesan dari Bali
Bau harum dupa menghantarkan doa mereka kepada
dewa-dewa, berharap pagi ini mereka diberkahi. Seperti biasa sanggah kecil
didepan rumah mereka dan berbalut pakaian khas upacara adat Bali dan beberapa
sesajen tersedia rapi untuk melakukan sembahyang rutin mereka setiap hari.
Manusia
tak selamanya hidup di dunia hanya memerlukan dunia tapi kebatinan yang kuat
terhadap penciptanya dan menundukkan rasa syukur mereka. Begitu yang kulihat
setiap harinya.
Hari
beranjak sore, segeraku melangkahkan kaki menuju tangga lantai dua mengambil
jemuran baju. Disini ku tinggal bersama
keluarga kecil kakakku berserta suami dan kedua anaknya.
***
Setibanya
aku di kampus. Telah di sambut dengan patung ganesha super gede. Fakultas Ilmu
Kelautan terpapang jelas diatas pintu kelas. Entah pagi ini sekelilingku terasa
canggung, ataupun hanya perasaanku saja. Lyang membuyarkan lamunanku.
“
Pagi-pagi udah bengong aja may?”
Aku hanya balas senyum pasi.
Lalu
lalang sepanjang jalan setapak, kulihat sepasang kekasih dalam cintanya sedang
merajut kasih dalam bahagia dengan tawanya. “ Kenapa di dunia ini Tuhan harus
menciptakan sepasang jenis. Begitu ilfilnya aku lihat! Kenapa mereka bisa,
kenapa aku tidak. Antara jodoh dikejar maupun takdir, apa ini takdirku. Ahh…” teriakku mengagetkan sekeliling,mungkin mereka
anggapku gila. Tapi aku lelah dengan penantianku. “Bukannya aku bahagia seperti
ini, pergi sesuka tanpa ada posesif dari yang namanya mahluk cowok. Harusnya
aku bersyukur masih bisa bersama orang yang ku sayang.” “ Jangan anggap ini
terlalu bodoh may, kamu masih bisa menghabiskan waktu dengan sahabatmu.” Seruak
batinku.
“
Maya sayang, kamu kemana aja sih. Dicariin dikelas gak ada? Perpus, kantin gak
ada juga. Iyaelah menyendiri dibawah pohon, may kamu kayak mbah jimbrong aja
semedi gituan.” Ledeknya heran.
“
Tika sayang, tika cintaku. Lagi meditasi tau! Sebel aku kenapa kita berdua
nggak punya cowok, lihat noh Dewi putus dari Drian langsung dapet lagi.” Sambil
menunjuk kearah Dewi yang sedang berjalan dengan pacar barunya.
“
Mungkin kita kurang cantik,atau kurang agresif.”
“
Kenapa musti lihat penampilan luar, hatinya nomer berapa? Ini inih mahluk cowok
selalu lihat paras kapan sadar dar dar nya! Yee lo aja sonoh agresif.”
Geramnya.
“
May, dari pada bĂȘte jalan yuk, enak ini jam segini ke Dreamland.” Ajaknya.
“
Ahh… males, tapi bener juga ya. Yuk hayuk.” Girangnya.
***
“
Pouncu… aku pergi dulu ya, bilangin kak Tyas udah beres semua setrikaannya,
thank you.” Teriakku.
“
Iya …” jawabnya dari dalam rumah.
Ku
berlari menuju bagasi dan mengeluarkan motorku. Ku pacu motor matikku dan
berhenti didepan kos putri “Rahayu”. Iya, ini tempat Tika ngekos, Tika disini
sendiri nggak ada sanak keluarga, kami memang berteman lama dari SMA dan drari
Jawa pula. Tika tak ajak tinggal bersama keluargaku nggak mau, ya sudah.
Tika
udah siap berdiri depan motorku, kami berdua rencanaya mau survey biota laut di
Kuta dan Tika tak suruh temenin aku.aku udah siap dengan cameraku dan pakaian
diving. Tika tampak histerisnya saat sky boot kami melaju kencan hampir di
tengah pantai. Tika menyeruak gembira.
“
Maya… indah banget. Sumpah keren abis.”
Ku memcibirkan mulutku dengan senyum mengembang.
Tak berapa lama aku menceburkan diri dan ku amati sekeliling biota alam ini
mulai dari terumbu karang, hingga binatang unik-unik ada disini. Dari atas sky
boot ku mendengar Tika menteriakan. “ Hati-hati may.”
Hari
beranjak sore, aku dan tika udah selesai dari diving. Ku nikmati pemandang
sunset sambil Tika membelikanku sekaleng minuman soda. Tak beberapa lama
seorang anak kecil menghampiriku dan menyodorkan sepucuk surat beramplop putih
kepadaku. Aku dan Tika saling berpandang-pandangan dengan herannya.
“
Untuk kakak.” Tanyanya lembut.
“
Dari siapa manis?” jawabku penuh Tanya.
Dia hanya berlari dan tak menghiraukanku.
Tanganku memegang surat ini penuh dengan penasaran, ku buka pelan –pelan dan
membacanya dengan nada pelan.
Untuk Maya yang mengetarkan hatiku… (membaca
ini rasanya pengen mual, gombal banget.)
Tak seorang pun yang tahu kalau aku benar rindu
Tak seorang pun yang tahu kalau aku benar sayang
Terasa ini menyakitkan batinku, malu yang
berkecamuk di dada membuatku takut
Takut kalau aku benar-benar cinta sepenuhnya
denganmu,
Tapi aku malu may, malu mengungkapkan ini dan
kamu bakal membenciku.
Love, Aldo
“ Cie… cie… yang dapet surat cinta
inih.” Godanya padaku.
“ Apaan sih tik… kenal aja nggak.
Tapi ini siapa ya?” tanyaku.
Tika
hanya mengangkat bahunya tanda dia tak tahu. Dalam benakku seperti nggak asing
dengan nama itu.
“ Udah yuk pulang, capek.” Ajakku.
***
“ Maya, ada surat ini. kak Tyas
taruh di atas kulkas ya.” Teriaknya.
“ Hummm…” singkatku
Air yang tenang dan sejuk ini
membuatku sumringah dalam beraktivitas. Sepintas
dari dapur dan di atas kulkas kulihat sepucuk surat beramplopkan putih dan
mengoda mata untuk segera membacanya.
Maya…
Apakabar
may? Semoga pujaan hatiku dalam keadaan sehat.
Maafkan aku bila tak sopan dengan caraku yang
kekanak-kanakan.
Aku
tunggu kamu jam 3 sore di Kuta. Datang ya may.
Love,
Aldo
“ Aneh
deh, aku gak kenal tapi dia kenal aku banget. Inikah jodoh yang dikirimkan Tuhan
untukku, caranya romantis banget. Semakin penasaranku.” Sejenak kuberguman.
Ku bergegas menuju
kamar, dan ku otak-atik seisi lemari pakaianku, mencari pakaian yang sesuai,
dan mataku tertuju pada celana jins hitam, sweater biru panjang. Ku menatap
wajahku penuh dalam didepan cermin riasku. Mengotak-atik rambutku, ku mulai
mengoles bedak dipipiku menghiasi bibirku dengan lip goss dan tidak lupa jam
tangan purple siap menemani.
Ku melaju dengan
kecepatan sedang menuju arah Kuta. Perjalanan ke Kuta nggak terlalu jauh
sekitar 15 menit dari rumah kakakku. Ku parkirkan motorku didepan Hard Rock. Ku
berjalan penuh arti dalam hati rasa berkecamuk didada mulai resah dan mata ini
tertuju pada seorang lelaki tinggi menghadap arah pantai dengan kedua tangannya
diletakan diperutnya. Ku berjalan
menghampirinya, dan.
Ku memberanikan
diri menyentuh pundaknya penuh penasaran
dan takut. Dia membalikan badan, dan begitu terkejutnya aku ternyata dia teman
sekampusku cuma beda jurusan dia fakultas Kedokteran Hewan.
“ Aldo, ternyata kamu
Aldo yang ini.” tanyaku kaget padanya.
Dia hanya tersenyum manis dan menawan.
Aldo memberanikan diri memyentuh kedua tanganku dan mulai ia mengatur nafasnya
yang mulai tersengal-sengah untuk berkata.
“
Maya, ini aku yang sering meneror dengan surat itu, maafkan aku. Aku sayang
kamu May, tapi aku takut berhadapan langsung denganmu. Detik ini aku mencoba
mengutarakan perasaanku denganmu. Would you be my lover?”
“
Caramu kayak anak kecil pake surat segala, bikin penasaran sampai susah tidur
tau do. Hmmm gimana? Aldo… yes, I want to be your lover.”
Aldo memelukku dengan bahagianya dan
kami memandangi lauatan bersama-sama.
Cara Tuhan indah mempersatukan cinta
ini.
Minggu, 04 November 2012
Cara otak sadari waktu
Oleh Tia Ghose, Staf Penulis LiveScience
Posisi jarum jam serta posisi matahari di langit terjadi dengan sendirinya, namun entah bagaimana, manusia bisa mencari tahu berapa banyak waktu yang telah berlalu.
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan alasan di balik kemampuan tersebut. Penelitian tersebut mengungkapkan, otak tidak memiliki pedoman jam, namun lebih dari itu, setiap sirkuit otak manusia bisa belajar untuk menjelaskan waktu.
“Manusia akan berpikir saat mereka perlu memberikan waktu terhadap sesuatu, terdapat beberapa sirkuit jam di otak yang dapat memberikan kita petunjuk,” ungkap penulis penelitian, Geoffrey Ghose, yang juga seorang ilmuwan yang mempelajari saraf di University of Minnesota.
“Apa yang kami indikasikan dalam penelitian sebenarnya sangatlah berbeda. Untuk setiap tugas, tindakan yang ringan serta keputusan yang Anda buat, Anda berpotensi untuk bisa mengembangkan gambaran waktu.”
Rasa peka akan waktu merupakan hal yang sangat fundamental bagi makhluk hidup, kata Ghose kepada LiveScience.
”Sering kali Anda menggunakan petunjuk serta kejadian dari luar untuk mencari tahu waktu saat ini, seperti saat Anda melihat keluar dan melihat di mana posisi matahari, atau melihat jam,” ujar Ghose. “Namun Anda memiliki kepekaan terhadap waktu yang sebenarnya tidak bergantung pada semua hal tadi.”
Untuk melihat bagaimana otak menjaga waktu, para peneliti melatih dua ekor monyet untuk bisa menggerakkan mata ke kanan dan kiri dalam cara yang sangat akurat. Ruangan tempat monyet tersebut berada tidak memiliki petunjuk dari luar yang bisa membantu monyet tersebut mengetahui waktu.
“Mereka pada dasarnya melakukan seperti halnya sebuah metronom dengan menggerakkan mata ke kanan dan ke kiri,” kata Ghose.
Kemudian, Ghose dan rekannya menggunakan elektroda yang ditanamkan ke dalam otak monyet untuk mengukur sinyal listrik dari neuron, atau sel otak, di bagian parietal corte, yang merupakan bagian dari otak yang berhubungan dengan gerakan mata.
Sekitar 100 neuron bekerja untuk menjaga gerakan mata monyet secara tepat pada waktunya, ungkap Ghose. Ketika monyet tadi menggerakkan mata mereka, sinyak elektrik pun muncul, lalu berangsur-angsur menurun hingga saat monyet itu melihat ke arah yang lain. Para peneliti yakin bahwa aktivitas elektrik yang perlahan-lahan berkurang merupakan sinyal khas untuk menentukan waktu.
Menariknya, para peneliti tidak berpikir bahwa 100 neuron tersebut merupakan penentu waktu yang ada di otak. Sebaliknya, Ghose dan rekannya menyimpulkan bahwa otak dapat mempelajari kepekaan internal akan waktu untuk semua aktivitas, baik bertemu teman untuk pergi minum kopi atau bermain piano.
“Setiap sirkuit kecil untuk setiap aktivitas yang ringan bisa mengembangkan kemampuan untuk mengetahui waktu,” ujar Ghose.
Karena kepekaan internal akan waktu bisa dipelajari, mereka yang sering datang terlambat mungkin tidak bisa menyalahkan kesalahan jam internal mereka, ungkapnya.
“Mungkin dengan cukup latihan, sangatlah penting bagi seseorang untuk bisa mengembangkan kepakaan waktu yang sangat baik,” ujarnya. “Orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap waktu dengan baik, telah memutuskan bahwa kepekaan itu tidaklah penting atau berharga.”
Posisi jarum jam serta posisi matahari di langit terjadi dengan sendirinya, namun entah bagaimana, manusia bisa mencari tahu berapa banyak waktu yang telah berlalu.
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan alasan di balik kemampuan tersebut. Penelitian tersebut mengungkapkan, otak tidak memiliki pedoman jam, namun lebih dari itu, setiap sirkuit otak manusia bisa belajar untuk menjelaskan waktu.
“Manusia akan berpikir saat mereka perlu memberikan waktu terhadap sesuatu, terdapat beberapa sirkuit jam di otak yang dapat memberikan kita petunjuk,” ungkap penulis penelitian, Geoffrey Ghose, yang juga seorang ilmuwan yang mempelajari saraf di University of Minnesota.
“Apa yang kami indikasikan dalam penelitian sebenarnya sangatlah berbeda. Untuk setiap tugas, tindakan yang ringan serta keputusan yang Anda buat, Anda berpotensi untuk bisa mengembangkan gambaran waktu.”
Rasa peka akan waktu merupakan hal yang sangat fundamental bagi makhluk hidup, kata Ghose kepada LiveScience.
”Sering kali Anda menggunakan petunjuk serta kejadian dari luar untuk mencari tahu waktu saat ini, seperti saat Anda melihat keluar dan melihat di mana posisi matahari, atau melihat jam,” ujar Ghose. “Namun Anda memiliki kepekaan terhadap waktu yang sebenarnya tidak bergantung pada semua hal tadi.”
Untuk melihat bagaimana otak menjaga waktu, para peneliti melatih dua ekor monyet untuk bisa menggerakkan mata ke kanan dan kiri dalam cara yang sangat akurat. Ruangan tempat monyet tersebut berada tidak memiliki petunjuk dari luar yang bisa membantu monyet tersebut mengetahui waktu.
“Mereka pada dasarnya melakukan seperti halnya sebuah metronom dengan menggerakkan mata ke kanan dan ke kiri,” kata Ghose.
Kemudian, Ghose dan rekannya menggunakan elektroda yang ditanamkan ke dalam otak monyet untuk mengukur sinyal listrik dari neuron, atau sel otak, di bagian parietal corte, yang merupakan bagian dari otak yang berhubungan dengan gerakan mata.
Sekitar 100 neuron bekerja untuk menjaga gerakan mata monyet secara tepat pada waktunya, ungkap Ghose. Ketika monyet tadi menggerakkan mata mereka, sinyak elektrik pun muncul, lalu berangsur-angsur menurun hingga saat monyet itu melihat ke arah yang lain. Para peneliti yakin bahwa aktivitas elektrik yang perlahan-lahan berkurang merupakan sinyal khas untuk menentukan waktu.
Menariknya, para peneliti tidak berpikir bahwa 100 neuron tersebut merupakan penentu waktu yang ada di otak. Sebaliknya, Ghose dan rekannya menyimpulkan bahwa otak dapat mempelajari kepekaan internal akan waktu untuk semua aktivitas, baik bertemu teman untuk pergi minum kopi atau bermain piano.
“Setiap sirkuit kecil untuk setiap aktivitas yang ringan bisa mengembangkan kemampuan untuk mengetahui waktu,” ujar Ghose.
Karena kepekaan internal akan waktu bisa dipelajari, mereka yang sering datang terlambat mungkin tidak bisa menyalahkan kesalahan jam internal mereka, ungkapnya.
“Mungkin dengan cukup latihan, sangatlah penting bagi seseorang untuk bisa mengembangkan kepakaan waktu yang sangat baik,” ujarnya. “Orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap waktu dengan baik, telah memutuskan bahwa kepekaan itu tidaklah penting atau berharga.”
Senada
Suara biola yang sangat indah
dimainkan itu, terasa menyejukan hati ini yang pilu karena kemiskinan.
Mencari-carinya untuk lebih jelas didengarnya. Ternyata berasal dari rumah
mewah diseberang jalan ini. Wawan yang seorang penjual koran hanya lulusan smp tak
bisa melanjutkan sekolahnya 2 tahun lalu. Karena uang dan uang yang
menghambatnya dan keluarganya. Dia merasa iri dengan teman-temannya yang begitu
menikmati pendidikan.
Matanya
menatap diatas jendela rumah mewah itu, yang kebetulan terbuka. Ada sosok
perempuan dengan sebuah kursi rodanya diam terpaku dengan biolanya. Mata hati
wawan sangat miris melihatnya, dalam batinnya dia merasa “oh tuhan, apa yang
terjadi dengannya???? Dia sangat kaya, jauh beda dengan saya.”
Saat ia melangkah mendekat,
mendekati pintu gerbangnya sangat jelas perempuan itu. Perempuan itu merasa
seseorang melihatnya dan mendengarkannya. Perempuan itu keluar mencoba
mendekatinya, dia keluar dari pintu dengan kursi rodanya. “siapa kamu?” Tanya
perempuan itu sambil mendorong kursi rodanya.
“aku wawan penjual Koran, maaf jika aku menggangu bermain biola kamu
dengan indahnya.”
Pintu
gerbang itu membatasi berbincangnya.
“owh… tidak, aku hanya senang dengan bermain biola ini. Perkenalkan aku
kinan, salam kenal wawan.” Senyum manisnya
“aku sangat senang jika kamu mau menjadi temanku.” Ajaknya
“ya… tapi aku hanya penjual Koran miskin yang tak pantas berteman dengan
kamu, apa kata teman-temanmu??
“apakah seorang teman harus memandang status???”
Tuhan
begitu baiknya perempuan kaya ini, walau fisiknya cacat tapi hatinya baik,
gumannya dalam hati.
“itu menurutku… tapi kau belum kenal aku?”
“kau bukan orang jahat, aku bisa melihat itu dari matamu”
“kinan, aku harus pulang keluargaku menungguku dirumah.” Pintanya
“ya… sering-seringlah kamu main sini.”
***
Sepanjang pikirannya, hanya
terfikir sosok kinan dan kinan. Hari itu cuaca sangat panas dan Koran yang
dijual wawan hanya laku 3 biji. Dia kesana-sini tuk dapatkan uang guna membantu
ibunya. Pernah benaknya ingin menjadi orang kaya membahagiakan ibu dan adik
perempuannya atik namanya.
Disisi lain kinan juga merasa
sangat kesiapan, walau kaya tapi tak ada sekecil pun yang peduli akannya dan
memperhatikannya. Hanya pembantu yang menjadi teman mainnya. Mata batin kinan
merasa sedih bila mengingat peristiwa 1 tahun lalu yang membuat kinan mengalami
cacat dikakinya. Waktu itu tepat saat ulang tahun mamanya, mamanya mengajak
kinan jalan-jalan kebetulan papanya diluar negeri singapura bisnis. Saat sedang
mengendarai sambil berbincang-bincang mamanya tak sadar didepan ada truk
berhenti didekatnya, rem pun tak terkendali dan mamanya seketika mati ditempat
dan syukur kinan selamat. “aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, mama kinan
rindu” desak tangisnya
Kinan merasa tak punya
siapa-siapa untuk jadi teman curhatnya dan yang menemani jalan-jalan, hanya
sosok mamalah. Kinan diam terpaku dengan kursi rodanya sambil memandangi foto
alm mamanya dengan berlinan air mata. “mah, andai mama disini kinan ingin
sekali bertemu mama. Kinan tahu mama ada alam surga, kinan kesepian ma. Papa
tak pernah mengunjungiku hanya lewat telefon! Mama….” Desaknya
Sore itu wawan pulang dari
menjual Koran, ia ingin melihat kinan sudah 2hari ini wawan tak mengunjunginya.
Dari balik taman depan rumah mewah itu sedang duduk dalam kursi rodanya, siapa
lagi kalu bukan kinan. Wawan mendekat dan memberanikan diri tuk memanggilnya.
“kinan….”
Sebuah
suara yang lembut ia dengar dan menyebut namanya, ia mencari asal suara itu.
“apakah wawan?” batinnya
Lalu
kinan menolehnya kebelakang dengan memutarkan kursi rodanya. Dengan senang
hatinya yang dilihat adalah wawan.
“wawan… aku menunggumu tapi kau tak pernah datang mengunjungiku. Buka
saja pintu gerbang itu.”
Wawan
membuka pintu gerbang dan menghampirinya.
“ah… anu nan, akhir-akhir ini aku sibuk mengurusi Koran dan membantu
ibuku. Bagaimana kabarmu?”
“owh… begitu, ya nggak apa. Kabarku baik wan, kamu haus biar aku panggilkan
mb nuni?”
“ah… tak usah ngeropotin.”
“tak apa, kita teman kan? Mb nuni… amblikan minum buat teman kinan”
“ya… terimakasih, oh ea nan mana orang tuamu? Hebat ya kamu punya rumah
besar, taman yang indah. Jauh beda dengan rumahku, yang gubuk kayu. Tapi aku
bersyukur bisa punya tempat tinggal.
“sama-sama. papaku ada diluar
negri, mama sudah meninggal. Ini punya orang tuaku, aku hanya menempati saja.
Ya harus bersyukur, boleh aku main ketempat kamu?”
“oh… maaf kinan aku tak tahu kalau mama kamu sudah nggak ada. Pasti enak
diluar negri, rame sakali diperbincangkan Koran ini mengenai luar ngeri. Hehe…
ah bercanda kamu, rumahku jelak apa coba kata tetanggamu. Sudah cantik, baik
lagi.”
“ya wan, aku ngerti. Ya asyik tapi bosen setiap liburan sekolah keluar
negri terus. Nggak wan, serius santai saja. Boleh ya…”
“wah… setiap liburan kesana… cup cup, hebat kamu. Pernah kepatung kayak
singa keluar airnya dari mulutnya.”
“hah… lucu kamu, owh singapura ya. Aku pernah kesana tempat kerja papa
disana.”
“kinan, aku sering-sering diceritain tentang sana. Sudah sore aku belum
mandi, bau kayak gini.” Dengan logat jawanya
“iya… ya, pantas saja bau ikan asin…” kinan tertawa kecil
“wah ikan asin, ini itu bau comberang… hehe. Da kinan sampai ketemu
lagi”
“wawan… wawan. Hati-hati” dengan senyum manisnya.
***
“wawan anaknya baik,
mudah-mudahan ini berguna untuknya?” batinnya dengan raut muka senang.
Siang
itu kinan ingin memberikan buku panduan wisata. Dan ia ingin merasakan
ketenangan dikeluarga wawan. Yang hampir 1 tahun lebih tak dirasakannya. Kinan
menyuruh pak abon supirnya, tuk menghantarkan ke pusat kota tempat jualannya
wawan.
Dari balik kaca jendela mobil
kinan melihat wawan dan memperhatikan cara berjualannya. Kinan merasa iba
padanya, “didunia masih ada orang yang pekerja keras seperti wawan, aku merasa
iri padanya. Aku cacat seperti ini tak bisa apa-apa??”
Wawan merasa capek dan ia
berteduh dipinggir sambil duduk ditrotoar, dahaganya terasa kering ingin
sesegera mungkin minum. Kinan yang memperhatikannya, segera turun dari mobilnya
yang dibantu pak abon. Dibawa sebotol air mineral untuknya. Wawan yang tak
sadar dan kaget itu tak menyangka kinan menghampirinya
sambil menyodorkan air mineral. Lalu bercandalah mereka.
“wan, ini untukmu.”
“kinan (dengan tak sadar dan kagetnya)… sedang apa kamu disini?”
“aku dari tadi memperhatikan mu, cara jualan kamu. Tak boleh?”
“owh… bukan gitu maksudku… terimakasih ya, kamu tak malu berteman
denganku dan terimaksih juga airnya.”
“ya sama-sama. Oh ya wan, aku punya sesuatu. Ini buku panduan wisata
tentang Singapura.”
“wah indah sekali Negara sana, makmur pula dari pada Indonesia.”keluhnya
“ya indah, tapi kita harus bangga dengan Indonesia Negara yang kaya akan
sumber dayanya.”
“tapi… tak semakmur sana. Buktinya aku dan yang lain masih miskin?”
“itu karena pejabatnya korupsi! Makan uang rakyat.”
“politikus kau.” Canda wawan
“hum… “tawa kecil kinan
Dengan
asyiknya mereka ngobrol dan tertawa kecil. Tiba-tiba wawan ingin pulang.
Seketika itu kinan ingin ikut, ingin merasakan suasana keluarga kecil mereka. Kinan
yang naik kursi roda dan didorong wawan, sebelumnya kinan minta izin sama pak
abon supirnya tuk bermain dengan wawan.
Sebelumnya wawan ditawari naik
mobil kinan, karna jalan menuju rumahnya sempit jadinya jalan kaki. Sepanjang
jalan kinan memperhatikan suasana kampung wawan. Terlihat ramai didaerahnya
banyak anak-anak bermain riang gembira. Kinan jadi teringat dulu.
Sampailah didepan rumah yang
hanya terbuat dari bambu dan suasana disana sejuk penuh dengan pohon. Terlihat
disana seorang ibu yang sedang menjahit baju. Ternyata ibu wawan, beliau
terlihat ramah dengan kinan dan mempersilahkan masuk. Kinan disajikan pisang
rebus dan segelas teh angat, nikmat rasanya karna dibuat dengan rasa sayang.
Perasaan kinan sangat senang bisa merasakan kasih sayang ibu yang dicurahkan ke
wawan terasa lengkap sudah.
**********
Langganan:
Postingan (Atom)